Sedikit Cerita Sekitar Sejarah Indonesia


Masa Inkubasi Menjadi Indonesia
May 17, 2007, 9:30 pm
Filed under: Menjadi Indonesia

Indonesia sebagai negara yang merdeka lahir dari sebuah gagasan sistematis tentang kebebasan, penindasan dan keterlepasan dari perlakuan diskriminasi oleh pemerintah kolonial Belanda. Gagasan yang menjadi inspirasi munculnya semangat kebangsaan. Gagasan yang melahirkan pernyataan politis, sebuah manifesto menuntut kemerdekaan kepada pemerintah kolonial Belanda. Manifesto itu pertama kali muncul pada azas sebuah organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda bernama Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) yang tertera dalam Gedenkboek Indonesische Vereeniging, 1908-1923 (Buku Peringatan Perhimpunan Indonesia 1908-1923). Buku ini terbit pada tahun 1923 dengan sampul gambar bendera merah putih dengan kepala banteng di tengahnya. Kemudian, Perhimpunan Indonesia mengganti nama jurnalnya dari Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka pada Maret 1924.

Apa yang terjadi di dalam tubuh organisasi Perhimpunan Indonesia dengan sebuah gagasan dan cita-cita tentang Indonesia yang merdeka tidak muncul begitu saja. Ia berasal dari kesadaran diri atas harga diri kultur dan tradisinya, serta pemahaman atas gagasan tentang politik modern beserta ideologi-ideologi besar yang berkembang di Eropa. Ada masa ketika gagasan tentang kebebasan dan perlawanan atas perlakuan yang diskriminatif hanya berkembang di masyarakat Eropa di negeri Belanda dan Hindia Belanda dan sama sekali tidak ada keterlibatan orang-orang bumiputera di dalamnya. Inilah masa pra-nasionalisme atau masa inkubasi ketika gagasan tersebut masih diserap sebagai proses pembacaan wacana sebelum diterjemahkan oleh kaum bumiputera sebagai politik perlawanan.

Politik Etis

Gagasan yang menyuarakan semangat kebangsaan dan kemerdekaan untuk lepas dari ketertindasan tidak muncul secara tiba-tiba. Menjelang berakhirnya Cultuur Stelsel tahun 1870, berkembang gagasan tentang emansipasi dan tuntutan otonomi pemerintahan untuk lepas dari negara induk, Kerajaan Belanda. Gagasan tersebut muncul dari kontradiksi yang terjadi dalam pemahaman modern atas pengelolaan negara di Hindia Belanda. Cultuur Stelsel dan proses industrialisasi di Hindia Belanda menjadi sumber keuangan bagi kehidupan sosial-ekonomi kerajaan Belanda. Yang terlupakan adalah pembangunan dan kesejahteraan di tanah Jawa. Munculah permasalahan sosial yang menyangkut masalah kesejahteraan dan kemiskinan kaum bumiputera. Sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah kolonial menjadi artikel yang terus muncul di media cetak, terutama yang terkait pengelolaan anggaran keuangan dan kebijakan perekonomian modern.

Pada awalnya, gagasan ini bergema hanya dikalangan orang-orang Eropa. Hak suara yang dimiliki oleh setiap orang Belanda, setibanya di Hindia Belanda akan hilang. Penyampaian kehendak politik hanya disalurkan melalui surat permohonan dan sering kali tidak ada hasilnya. Di Hindia Belanda, berturut-turut, hirarki keputusan politik berada di tangan pemerintahan di Batavia (departemen dalam negeri), Bogor (kediaman Gubernur Jenderal) lalu Den Haag (parlemen Belanda). Hal ini disebabkan adanya peraturan di Pasal 111 Regerings Reglement yang melarang setiap perkumpulan, perserikatan dan rapat yang bersifat politik.

Kritik serta penentangan di masa kebijakan Cultuur Stelsel tercetus di negeri Belanda. 1848, konstitusi liberal di negeri Belanda memberikan parlemen Belanda sebuah peranan yang cukup berpengaruh atas urusan-urusan daerah Jajahan. Segera kelompok oposisi bersatu di parlemen mengajukan tuntutan perubahan di Hindia Belanda. Mereka terdiri dari kelompok liberal dan sosial demokrat. Tuntutan kaum liberal berpijak kepentingan kelas menengah Belanda yang tumbuh besar dari keuntungan perekonomian Belanda yang diperoleh dari Hindia Belanda. Tuntutan itu berupa: pengurangan peranan pemerintah dalam perekonomian kolonial secara drastis, pembebasan terhadap pembatasan-pembatasan perusahaan swasta di Jawa, dan diakhirinya kerja paksa dan penindasan terhadap orang-orang Jawa dan Sunda. Sementara bagi kaum sosial-demokrat di parlemen, prinsipnya adalah bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan moral penduduk; evolusi ekonomi; serta pertanggungjawaban moral kepada kaum bumiputera.

Pada 1860, seorang mantan pejabat kolonial bernama Eduard Douwes Dekker menerbitkan novel berjudul Max Havelaar di Belanda. Novel tersebut menceritakan tentang penindasan dan prilaku korupsi yang dilakukan pemerintah kolonial beserta aparatnya di Jawa (Lebak). Max Havelaar menjadi senjata yang cukup berpengaruh untuk menyampaikan gagasan anti-penindasan di kalangan orang-orang Eropa. Tulisan tentang tuntutan pemenuhan kewajiban moral Belanda terhadap Hindia pun bermunculan di media massa Belanda. Salah satunya tulisan Robert Fruin dalam De Gids tahun 1865. Artikel yang berjudul “Nederland’s rechten en verplichtingen ten opzichten van Indie”. Dalam artikel tersebut, untuk pertama kalinya praktek saldo laba (Baltig Slot) dalam Cultuur Stelsel dinyatakan sebagai kebijakan pemerintah yang berlawanan dengan hukum kedaulatan negara modern (Belanda). Artikel ini mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda yang kemudian bergerak dalam lingkup Politik Etis, salah satu tokoh terpenting politik etis tersebut adalah Mr. P. Brooshooft.

Ada pun gerakan kaum liberal di parlemen Belanda, tidak lepas dari kepentingan yang menguntungkan bagi pihak swasta. Penghapusan Cultuur Stelsel dilakukan secara bertahap sejak tahun 1862 dan dikenakan pada komoditi-komoditi tertentu yang memberikan keuntungan paling sedikit. Komoditi kopi adalah yang paling terakhir yaitu tahun 1917 di Priangan dan tahun 1919 di wilayah pesisir utara Jawa. Tahun 1870 pemerintah kolonial mengeluarkan Undang-undang Agraria yang membuka kesempatan kepada perusahaan swasta untuk melakukan investasi di wilayah Hindia Belanda yang selama ini menjadi monopoli Nederlandsche Handelsmaatschappij.

Berbagai pemikiran di seputar tuntutan kaum liberal di negeri Belanda hadir secara berkala di Hindia Belanda lewat surat kabar De Locomotief. Surat kabar yang berpusat di Semarang ini berdiri tahun 1863 dan menjadi harian pada tahun 1870. De Locomotief merupakan media pertama yang secara terus menerus menyuarakan politik etis atau politik kewajiban moral terhadap tanah jajahan, dan pemerintahan otonom. Masa pasca Cultuur Stelsel ini merupakan masa inkubasi pemahaman tentang nasionalisme.

Pada masa inkubasi ini, tuntutan kewajiban moril terhadap tanah Hindia Belanda yang ditujukan kepada pemerintah kolonial belum melibatkan peranan orang-orang bumiputera. Kaum bumiputera yang mendapat pendidikan Eropa serta berbahasa Belanda, masih terbatas sebagai pembaca. Kalangan pembaca De Locomotief umumnya adalah pedagang, pengusaha perkebunan, para penyewa tanah di daerah Yogya-Solo dan juga dibaca oleh kalangan pegawai pemerintahan dalam negeri.

P. Brooshooft, redaktur utama De Locomotief merupakan bagian dari jaringan para individu yang kemudian dikenal menyuarakan gagasan balas budi/etis baik yang berada di Hindia maupun yang di negeri Belanda, seperti Van Deventer, J.H. Abendanon, A.W.J. Idenburg, Van Limburg Stirum, N.P. van den Berg, Snouck Hurgronje, H.H. van Koll dan lain-lain. Secara individual, jaringan etis melakukan diseminasi gagasan dalam berbagai bentuk tanpa adanya satu ikatan organisasi yang ideologis.

Ada tiga momentum yang menandai bergemanya politik etis pada kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pertama, artikel Van Deventer yang muncul di De Gids tahun 1899, berjudul “Een Eerschuld”. Kedua, sebuah brosur politik yang ditulis Brooshooft yang berjudul “De Ethische koers in de koloniale politiek” (Haluan etis dalam Politik Kolonial”. Di terbitkan di Belanda tahun 1901.

Istilah etis yang dilabelkan pada politik kebijakan kolonial Belanda di Hindia pertama kali dicetuskan oleh Brooshooft melalui De Locomotief dan tercetus sebagai pernyataan politik pribadi (lepas dari fungsinya sebagai redaktur satu media massa) dalam “De Ethische koers in de koloniale politiek”. Brooshooft menulisnya di masa beristirahat dari tugasnya sebagai redaktur utama De Locomotief. Ia dilingkupi rasa frustasi atas gerakan yang dilakukan hampir 25 tahun di Hindia yang menurutnya gagal. Akan tetapi, kemudian tanpa disadari oleh Brooshooft , gagasan Emansipasi dan politik Etis telah merambah hingga ke telinga Ratu Wilhelmina. Januari 1901, di depan parlemen Belanda dalam sebuah pidato awal tahun, Ratu Wilhelmina mengumumkan hasil penyelidikan yang telah dilakukan oleh Mindere Welvaarts-Commissie (Komisi untuk penyelidikan keadan kurang sejahtera) sekaligus pengesahan kebijakan politik etis yang diterjemahkan oleh Gubernur Jenderal Idenburg menjadi program pendidikan, irigasi, dan emigrasi.

Di luar wacana utama politik etis, masih ada pula haluan lain yang ikut berperan dalam penyebaran gagasan emansipasi dalam kurun inkubasi ini. Adalah gerakan theosofi yang juga memainkan peranan dalam pertemuan pemahaman antara Timur dan Barat. Gerakan ini pertama kali berdiri sebagai organisasi bernama The Theosophical Society pada tahun 1883 di Pekalongan. Theosofi berpijak pada prinsip persaudaraan universal sebagai inti hakekat dari cita-cita tertinggi umat manusia. Gerakan ini lebih bersifat sebagai societeit (perkumpulan) yang mendirikan sekolah, perpustakaan, serta klub-klub diskusi dengan tema utama filsafat. Anggotanya terdiri dari orang Eropa, Bumiputera dan Cina. Ciri khasnya yang lebih cenderung pada spiritualisme dan juga konflik internal telah membuatnya tidak bertahan lama bila dibandingkan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh Brooshooft dan kalangan etis lainnya. Walau demikian, gerakan theosofi telah mempertemukan kalangan berbagai bangsa dengan status dan derajat yang sama sehingga menghapus batas-batas kebangsaan.

Masa diseminasi gagasan tentang emansipasi, politik etis, dan tuntutan pembentukan parlemen di Hindia Belanda secara tidak langsung menjembatani gagasan politik modern (yang identik dengan Barat) dengan pembentukan konsep nasionalisme Indonesia seperti apa yang kemudian dilakukan oleh Perhimpunan Indonesia. Adapun penyebaran gagasan itu pun dapat dilihat sebagai jejaring yang menghubungkan setiap individu yang ikut serta memperjuangkannya tanpa batas asal usul kebangsaan.

De Locomotief menghubungkan Van Deventer dan P. Brooshooft dengan kalangan orang-orang Eropa dan Bumiputera. Idenburg menjadi orang yang pertama menjalankan kebijakan politik etis setelah berada di pihak yang menyerukan perubahan kolonial di parlemen Belanda. Van Limburg Stirum menetapkan kebijakan tentang kebebasan berorganisasi dan pembentukan Volksraad tahun 1916. J.H. Abendanon merupakan sahabat R.A. Kartini. Snouck Hurgronje menjadi sponsor banyak intelektual Indonesia untuk bersekolah ke Belanda. Di masa kecilnya, Soekarno menggunakan keanggotaan ayahnya di Theosophical Society untuk menghabiskan waktunya di perpustakaan theosofi. Ir. Fournier dan van Leeuwen (keduanya tokoh gerakan theosofi Hindia Belanda) telah memberikan rekomendasi bagi Mohamad Hatta untuk mendapat beasiswa belajar di Belanda. Moh. Yamin, Abu Hanifah dan juga Agus Salim ikut memanfaatkan kursus-kursus filsafat yang diselenggarakan oleh Theosophical Society.

Peranan orang-orang Eropa dalam bangunan nasionalisme umumnya berhenti pada masa inkubasi ini. Gerakan emansipasi dan politik etis yang didengungkan oleh tokoh-tokohnya itu sama sekali tidak keluar dari kerangka politik kolonial. Bahkan dari kalangan liberal dan konservatif memperlihatkan bahwa kebijakan politik etis bertujuan sebagai usaha menjadikan masyarakat Bumiputera sebagai masyarakat beradab, bermoral, dan modern untuk menunjang kepentingan pemerintah kolonial. Suatu pengecualian berlaku untuk tokoh Douwes Dekker (Setiabudi) yang mempelopori berdirinya Indische Partij bersama Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (akan dibahas dalam bab selanjutnya). Masa inkubasi berakhir ketika masyarakat bumiputera menerjemahkan dan menentukan sendiri, ke mana arah gagasan-gagasan itu. Jawabannya kemudian adalah apa yang dilakukan oleh Perhimpunan Indonesia pada tahun 1923.

Sumber Pustaka

Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, UGM Press

Kartodirdjo, Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, Gramedia

Ingleson, John. Perhimpunan Indonesia dan Pergerakan Kebangsaan, Grafiti Press

Nugraha, Iskandar P., Gerakan Theosofi & Nasionalisme Indonesia, Komunitas Bambu

Lochter-Scholten, Elsbeth. Etika yang Berkeping-keping: Lima Telaah Kajian Aliran Etis dalam Politik Kolonial 1877-1942, Penerbit Djambatan


Leave a Comment so far
Leave a comment



Leave a comment